Monday, December 10, 2012

Kadang Pertemanan Menjelma Menjadi Pembunuh Sebuah Cinta

Sebuah bangkai bisa jadi tak akan pernah tercium selamanya… jika seseorang yang mencium baunya pura-pura tidak mencium, atau menyangkal sedang mencium bau bangkai.
Namun perasaan cinta bukanlah bangkai. Meski terselip dalam sebuah hubungan rumit bernama “pertemanan”, perasaan tetaplah perasaan. Gue orang yang percaya pada sebuah ungkapan…

Cewek dan cowok tidak pernah bisa menjadi best friend sepenuhnya.
Intensitas ketemu, ngobrol, dan saling terbuka mungkin saja perlahan, sedikit demi sedikit menumbuhkan benih-benih cinta, atau minimal suka. Dalam sebuah pertemanan seorang cowok dan cewek, bisa aja ada salah satu pihak yang sempat berpikir, “Dia baik banget. Mungkin gak sih gue suka sama dia? Apa mungkin kita jadian?”
“Kalau bukan suka? Kenapa gue cemburu kalo dia sama yang lain? Padahal kita cuma temen.”
Dan akhirnya pemikiran dan perasaan itu dibunuh dan dikubur dalam-dalam dengan batu nisan bertuliskan “atas nama pertemenan” tertancap di atasnya.
Dari contoh di atas, kadang gue berpikir pertemanan itu kejam. Sebuah pertemanan di antara dua manusia berbeda jenis kelamin, kemudian tumbuh rasa-rasa di dada. Apakah itu semua salah manusia? Bukankah cinta datang sendirinya tanpa diduga-duga?
Banyak orang yang rela membunuh rasanya sendiri hanya untuk menyelamatkan kedekatan dengan dia (dalam wujud teman) yang dipuja, dan untuk tetap bisa menjalani kebiasaan-kebiasaan bersamanya (meski dalam wujud teman).
Sederhananya, ada yang memilih memendam rasa hanya karena takut jadi jauh karena dia gak punya perasaan yang sama.
Miris, memang. Namun apa daya? Memang kadang rasa cinta yang tiba-tiba ada bisa menghancurkan jalinan pertemanan yang sudah dibangun sejak lama. Atau sebaliknya, status pertemanan yang ada membunuh sebuah cinta yang bersemi tiba-tiba.
“Nggak kok. Gue sama best friend gue gak ada rasa apa-apa.”
Mungkin kamu bilang nggak. Mungkin dia bilang nggak juga pas ditanya.
Tetapi di dalam hati, gak ada yang pernah tau… bahkan diri kamu.
Lalu, siapakah yang berharap dalam hubungan pertemanan kamu dengannya? Dia, atau kamu?
Dan sampai kapan mau membohongi diri sendiri?
Pertanyaan terakhir dalam hidupmu adalah…
Apakah pertemanan dan kedekatan itu lebih berharga dari rasa cinta yang tercipta? Dan apa kamu tega membunuhnya?
Sumber

No comments:

Post a Comment